Peringatan Tak Terduga dari Trump: Dukungan AS Bisa Rontok Jika Israel Caplok Tepi Barat
Yogyakarta– Dalam sebuah pernyataan yang mengguncang panggung politik Timur Tengah, mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan ancaman tegas kepada sekutu utamanya, Israel. Trump menyatakan bahwa Washington tidak akan segan mencabut dukungan jika Israel nekat melakukan aneksasi atau pencaplokan atas Tepi Barat. Pernyataan mengejutkan ini ia sampaikan dalam wawancara telepon dengan majalah Time pada 27 April lalu, mengungkapkan pergeseran strategis yang berpotensi mengubah peta aliansi di kawasan tersebut.

Baca Juga : Insiden Robohnya Pesantren Sidoarjo, Kemenag Yogyakarta Perketat Pemeriksaan Ponpes
Ancaman di Telepon dan Komitmen Rahasia pada Negara Arab
“Dukungan Amerika akan hilang begitu saja. Itu tidak akan terjadi, dan saya tegaskan, itu tidak akan terjadi,” ujar Trump dengan nada tanpa kompromi saat ditanya tentang konsekuensi bagi Israel. “Saya telah memberikan janji kepada negara-negara Arab. Mereka adalah mitra yang sangat penting bagi kami sekarang. Anda tidak bisa mengabaikan hal itu.”
Lebih lanjut, Trump menegaskan, “Israel akan kehilangan semua dukungannya dari Amerika Serikat jika mereka melakukannya.” Pernyataan ini merupakan yang paling gamblang dan keras yang pernah dilontarkan Trump, yang selama ini dikenal sebagai pendukung terkuat Israel, terkait isu Tepi Barat.
Arab Saudi dan Perjanjian Abraham: Kunci Strategi Perdamaian Trump
Trump tidak hanya berhenti pada ancaman. Ia juga mengungkapkan keyakinannya yang besar bahwa Arab Saudi akan segera bergabung dengan Perjanjian Abraham—pakta normalisasi hubungan yang dibangunnya selama menjabat yang menjembatani Israel dengan sejumlah negara Arab seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain.
“Ya, saya yakin. Saya sangat yakin Riyadh akan bergabung, mungkin bahkan sebelum akhir tahun ini,” tegasnya penuh keyakinan.
Menurut analisis Trump, momentum untuk normalisasi dengan Arab Saudi kini semakin terbuka. “Lihat, sebelumnya mereka punya dua masalah besar: masalah Gaza dan masalah Iran. Sekarang, berkat kebijakan kami, mereka tidak lagi menghadapi dua masalah itu secara bersamaan,” paparnya, merujuk pada konflik Gaza dan program nuklir Iran yang berhasil ditekan oleh serangan udara AS awal tahun ini.
Pertarungan Diplomasi: Utusan AS Datang, RUU Ankesi Israel Mengancam
Di tengah ancaman verbal Trump, situasi di lapangan justru memanas. Dalam beberapa hari terakhir, Trump telah mengerahkan sejumlah pejabat tinggi AS ke Israel untuk memperkuat gencatan senjata di Gaza yang masih rapuh. Namun, langkah diplomatik ini langsung mendapat ujian berat.
Saat Wakil Presiden AS, James David Vance, mengakhiri kunjungan tiga harinya di Israel, parlemen Israel justru mengajukan dua rancangan undang-undang yang membuka jalan bagi aneksasi Tepi Barat. Tindakan ini langsung memantik reaksi keras dari Vance, yang menyebutnya sebagai “aksi politik yang sangat bodoh dan saya pribadi merasa sedikit terhina karenanya.”
Tidak lama setelah itu, ketika Menteri Luar Negeri AS, Maerco Rubio, berangkat dari Washington, ia juga mengirimkan peringatan serupa. Rubio menegaskan bahwa langkah-langkah parlemen Israel dan aksi kekerasan yang dilakukan para pemukim Yahudi di Tepi Barat tidak hanya merusak kepercayaan, tetapi juga secara langsung mengancam kelangsungan gencatan senjata Gaza.
Masa Depan Marwan Barghouti: Kartu Truf dalam Perundingan Damai?
Barghouti, yang sering disebut sebagai “Nelson Mandela-nya Palestina,” termasuk dalam daftar tahanan yang ingin dibebaskan oleh Hamas sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata Gaza, seperti yang dilaporkan media pemerintah Mesir. Pembebasannya berpotensi menjadi game-changer dalam dinamika politik internal Palestina.
Adegan Penuh Ketegangan Menuju Pemilu AS
Pernyataan Trump ini bukan hanya sekadar peringatan diplomatik, tetapi juga sinyal kuat tentang arah kebijakan luar negeri yang akan ia usung jika terpilih kembali dalam Pemilu AS mendatang. Dengan ancaman mencabut dukungan, Trump jelas-jelas meletakkan kepentingan strategis AS dengan dunia Arab di atas segalanya, bahkan jika harus berhadapan dengan sekutu tradisionalnya sendiri.
Pertanyaannya sekarang: akankah Israel mendengarkan peringatan ini, atau justru akan melanjutkan langkah-langkah yang memicu ketegangan baru? Hanya waktu yang dapat menjawabnya, dalam episode baru diplomasi Timur Tengah yang penuh dengan ketidakpastian ini.
Eskalasi Berlanjut: Israel Tunjukkan Sinyal Bertolak Belakang
Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, secara terbuka mengecam ancaman Trump. “Kami menghargai persahabatan dengan AS,” ujarnya, “namun, kedaulatan dan keamanan Israel adalah harga mati yang tidak bisa kami tawar.” Di sisi lain, Perdana Menteri Israel mengeluarkan pernyataan yang lebih berhati-hati, menekankan pentingnya dialog tertutup. Meskipun demikian, para analis politik melihat kedua pernyataan yang bertolak belakang ini sebagai cerminan dari koalisi pemerintah Israel yang rapuh.
Reaksi Cepat dari Dunia Arab dan Palestina
Sementara itu, di kancah internasional, pernyataan Trump langsung memicu gelombang reaksi. Pemerintah Arab Saudi, sebagai contoh, masih menjaga sikap resmi yang diam. Akan tetapi, sumber-sumber diplomatik anonim mengabarkan bahwa pihak Kerajaan menyambut baik tekanan AS terhadap Israel ini.
Di lain pihak, Otoritas Palestina menyambut pernyataan Trump sebagai “langkah dalam arah yang benar.” Seorang juru bicara menyatakan, “Akhirnya, ada pengakuan bahwa perdamaian yang abadi mustahil tercapai selama ancaman aneksasi masih membayangi.” Bahkan, kelompok Hamas juga ikut bersuara, menyebut perkembangan ini sebagai bukti bahwa perlawanan bersenjata mereka mulai membuahkan hasil.
Masa Depan Perjanjian Abraham di Ujung Tanduk
Ancaman Trump ini, pada dasarnya, merupakan strategi berisiko tinggi. Di satu sisi, tekanan ini bisa memaksa Israel kembali ke meja perundingan. Sebaliknya, langkah ini justru berpotensi menggagalkan seluruh proses normalisasi dengan Arab Saudi yang telah dirintisnya.
Apa Langkah Selanjutnya?
Kini, semua mata tertuju pada langkah Israel selanjutnya. Pertama, apakah parlemen Israel akan menarik kembali RUU kontroversial mereka? Kedua, akankah kunjungan pejabat AS berikutnya membawa proposal perdamaian yang lebih konkret?
Yang pasti, dinamika ini telah menciptakan babak baru yang tak terduga. Trump, yang dulu memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem, kini justru menjadi penentu yang menghalangi ambisi teritorial Israel. Pada akhirnya, krisis ini akan menguji sekuat apa fondasi persekutuan AS-Israel dan menentukan masa depan jutaan warga Palestina di Tepi Barat.





