Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, Buruh Yogyakarta Soroti Janji yang Menguap: “Kami Hanya Terima Rapor Merah!”
Yogyakarta- Di tengah gegap gempita peringatan satu tahun pemerintahan, gema protes justru datang dari lini terdepan roda perekonomian: kaum buruh. Majelis Pekerja Buruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (MPBI DIY) secara tegas memberikan “rapor merah” kepada pemerintahan Prabowo-Gibran, menandai tahun pertama kepemimpinan mereka dengan catatan kegagalan di bidang ketenagakerjaan yang dinilai sangat mengecewakan.

Baca Juga : Aliran Sungai Code Diperlebar, Belasan Keramba Ikan Di Jetis Dibongkar
Koordinator MPBI DIY, Irsyad Ade Irawan, menyatakan bahwa berbagai janji manis pemerintahan tentang kerja layak, perlindungan sosial, dan keadilan ekonomi, hingga kini masih menjadi wacana yang tak berwujud. “Satu tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk menunjukkan komitmen dan arah kebijakan yang pro rakyat, khususnya para buruh. Namun, yang kami saksikan justru pengingkaran janji. Kenyataan di lapangan sungguh memprihatinkan,” tegas Irsyad dalam keterangan tertulis yang disampaikan dengan nada geram.
Ia menggambarkan situasi yang dihadapi buruh saat ini sebagai sebuah krisis multidimensi. “Buruh masih terjerat dalam lingkaran setan: upah yang tak cukup untuk menghidupi keluarga, status kerja yang tak pasti bagai di ujung tanduk, serta perlindungan hukum yang lemah sehingga membuat kami tak berdaya,” ujarnya.
Upah Minimum vs Kebutuhan Hidup Layak: Jurang yang Melebar
Persoalan paling mendasar dan menyakitkan, menurut Irsyad, adalah ketidakmampuan upah minimum untuk mengejar laju kebutuhan hidup layak (KHL). Data yang dirilis MPBI DIY dari survei pada Oktober 2025 memperlihatkan gambaran suram tentang kesenjangan antara penghasilan dan pengeluaran.
“Berdasarkan perhitungan kami, untuk bisa hidup secara layak dan bermartabat di Yogyakarta, seorang pekerja membutuhkan dana antara Rp 3,6 juta hingga Rp 4,45 juta per bulan. Bandingkan dengan upah minimum kabupaten/kota di DIY yang masih berkutat di angka yang jauh di bawah itu,” papar Irsyad.
Kebijakan pengupahan yang ada, lanjutnya, dinilai sudah kehilangan rohnya. “Prinsip keadilan sosial dalam pengupahan seolah hilang. Kebijakan ini gagal menjadi jaring pengaman dan justru membiarkan buruh terus terperangkap dalam lubang kemiskinan struktural,” tandasnya.
Wabah Kerja Kontrak dan Outsourcing: Hidup dalam Bayang-bayang Ketidakpastian
Peringatan Masalah kronis lainnya yang belum juga menemui titik terang adalah merajalelanya sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan praktik outsourcing. MPBI DIY mencatat, hubungan kerja yang tidak tetap ini seperti kanker yang menyebar ke berbagai sektor, tidak hanya di industri manufaktur, tetapi juga merambah ke perdagangan, pendidikan, bahkan layanan publik.
“Sistem ini adalah bentuk pelemahan sistematis terhadap posisi tawar buruh. Pekerja hidup dalam ketidakpastian dari satu kontrak ke kontrak berikutnya, tanpa ada jaminan masa depan, karir, atau penghasilan yang berkelanjutan. Ini menciptakan generasi buruh yang rentan dan mudah dieksploitasi,” kritik Irsyad.
Kelompok yang Terlupakan: Perlindungan bagi Perempuan, Disabilitas, dan Pekerja Informal
Kritik pedas juga dilayangkan terhadap kebijakan ketenagakerjaan yang dinilai masih timpang dan tidak inklusif. Kelompok-kelompok rentan seperti pekerja perempuan, penyandang disabilitas, dan pekerja di sektor informal seolah menjadi warga negara kelas dua yang dilupakan oleh negara.
Peringatan Salah satu bukti nyata pengabaian ini adalah mandeknya pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). RUU yang telah diperjuangkan bertahun-tahun ini masih terkatung-katung tanpa kepastian politik, meninggalkan jutaan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam kondisi rentan.
“Pekerja rumah tangga, yang mayoritas adalah perempuan, adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang justru paling sering menjadi korban kekerasan, eksploitasi, dan pelanggaran hak dasar. Penundaan pengesahan RUU PPRT bukan lagi soal teknis, melainkan soal ketiadaan political will (kemauan politik) pemerintah untuk melindungi mereka. Ini adalah bentuk pengingkaran tanggung jawab negara,” tegas Irsyad dengan nada prihatin.
Sebagai penutup, MPBI DIY mendesak pemerintah pusat untuk segera mengambil langkah-langkah korektif yang konkret. “Rapor merah ini adalah alarm. Kami tidak butuh janji lagi, kami butuh aksi nyata. Cabut semua kebijakan yang melemahkan buruh, naikkan upah secara signifikan, stop praktek outsourcing yang merugikan, dan sahkan segera RUU PPRT. Itulah bahasa yang kami pahami,” tutup Irsyad, menyampaikan ultimatum yang jelas dari suara buruh Yogyakarta.





