Melintasi Batas: Perjalanan 1000 KM Andika ‘Kobo’ Pratama di Atas Roda Sepeda
Yogyakarta- Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, ada orang-orang yang menemukan ketenangan dan Mengukir makna justru di tempat yang tak biasa: di atas sadel sepeda, melintasi jalanan sunyi, menerjang terik dan hujan, sendirian. Mereka adalah para ultracyclist, para pejalan jarak jauh yang tak hanya menguji fisik, tetapi juga mental dan jiwa. Salah satunya adalah Andika Pratama, atau yang akrab disapa Kobo, seorang pria asal Wonosobo yang kisahnya mampu menggetarkan semangat siapa pun.
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4008482/original/060626800_1651047341-page.jpg)
Baca Juga : Pembakar Sampah Portabel Yang Ramah Lingkungan
Dari Hobi Sederhana Menjadi Gaya Hidup
Mengukir Bagi kebanyakan orang, bersepeda adalah aktivitas santai di akhir pekan. Namun bagi Kobo, sejak ia pertama kali merasakan angin menyapu wajahnya pada tahun 2018, sepeda telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. “Awalnya sederhana,” kenang Kobo dengan senyum. “Sepeda itu alat yang merdeka. Anda bisa langsung mulai dari halaman rumah. Tidak perlu sirkuit mewah, tidak perlu menunggu tim, yang Anda butuhkan hanyalah kemauan besi dan sepeda Anda.”
Tujuh tahun berlalu, gowes santai telah berubah menjadi sebuah panggilan jiwa. Kobo tidak lagi puas hanya dengan rute-rute pendek. Ia menemukan panggilannya dalam dunia ultracycling—sebuah disiplin olahraga ekstrem di mana batas manusia dan mesin menjadi kabur. Bayangkan: mengayuh sepeda ratusan hingga ribuan kilometer tanpa henti, melawan kantuk, cuaca, dan suara kecil di kepala yang meminta untuk berhenti.
Pertarungan Epik 1000 Kilometer: Sebuah Ujian Jiwa dan Raga
Puncak perjalanan Kobo (sejauh ini) adalah ketika ia memutuskan untuk menaklukkan Audax 1000 kilometer. Rutenya adalah monster yang membentang dari Yogyakarta, menyusuri Gunungkidul, menelusuri Jawa Timur, lalu berbelok melalui Sragen dan Salatiga sebelum akhirnya kembali ke titik awal. Sebuah perjalanan yang bisa membuat siapapun gentar.
Bayangkan berkendara mobil saja melelahkan. Kobo menempuhnya dengan tenaga ototnya sendiri, dalam dua setengah hari non-stop, tanpa diikuti mobil pendukung. “Ini ujian kemandirian mutlak,” tegasnya. “Mengukir Semuanya harus saya urus sendiri, dari logistik, perbaikan ban bocor, mencari makanan, hingga memutuskan kapan harus tidur sejenak. Tidak ada yang boleh membantu. Itu aturannya.”
Dari 70 peserta yang start, hanya segelintir pemberani yang berhasil menginjak garis finis sebelum batas waktu habis. Lalu, apa rahasia Kobo bertahan di tengah neraka kayuh ini?
Strategi di Balik Setiap Kayuhan: Seni Menaklukkan Diri
Kobo menjelaskan bahwa di jarak sejauh ini, kekuatan fisik hanyalah 30% dari pertempuran. 70% sisanya adalah manajemen energi dan strategi mental.
-
Bahan Bakar Premium untuk Tubuh: Kobo bukan sekadar makan, tapi memberi bahan bakar secara presisi. Ia menghindari makanan berminyak yang memberatkan pencernaan. Senjatanya? Kurma. “Kalori dari kurma itu ajaib, diserap tubuh dengan sangat cepat dan efisien,” paparnya. “Saya mengonsumsinya setiap 5 kilometer, seperti ritual. Untuk makan berat, saya lakukan setiap 100-150 kilometer, biasanya setelah hampir enam jam mengayuh.”
-
Menghindari “The Bonk”: Dalam dunia endurance, ada momok menakutkan bernama “bonking”—saat tubuh benar-benar kehabisan energi, otot berubah menjadi batu, dan pikiran menjadi kabur. “Saat bonk terjadi, Anda tidak bisa melanjutkan perjalanan, titik. Itu adalah dinding yang nyata,” ujar Kobo. Ketelitiannya dalam mengatur asupan nutrisi adalah tameng terbaik untuk mencegahnya.
-
Mindset: Finishing adalah Kemenangan Sejati: Yang membedakan ultracycling dengan balap sepeda biasa adalah filosofinya. “Di sini, kami tidak berebut menjadi juara satu. Tidak ada podium. Musuh terbesar adalah diri sendiri dan jarak. Kemenangan sejati adalah rasa puas yang tak tergambarkan saat kaki Anda akhirnya berhenti mengayuh di garis finis,” tuturnya dengan mata berbinar. Bagi Kobo, medali yang sesungguhnya adalah rasa percaya diri yang tertanam dalam, bahwa ia mampu melakukan hal yang bagi orang lain mustahil.
Lebih Dari Sekadar Hobi: Sebuah Pesan untuk Bergerak
Kini, Kobo terus mengayuh. Ia aktif berpartisipasi dalam berbagai event dan tak segan berbagi cerita serta pengalamannya kepada komunitas dan pemula. Baginya, sepeda telah menjadi jembatan untuk menyebarkan virus positif.
“Bersepeda bagi saya bukan lagi sekadar hobi. Ia adalah sebuah bentuk meditasi, sebuah cara untuk merawat jiwa yang terpenjara dalam rutinitas, sekaligus merawat raga yang diberikan Tuhan,” pungkasnya.
Kisah Andika ‘Kobo’ Pratama mengajarkan kita bahwa batas itu seringkali hanya ilusi pikiran. Terkadang, untuk menemukan diri kita yang sebenarnya, kita harus berani mengayuh lebih jauh, melampaui zona nyaman, dan percaya bahwa di setiap kayuhan, ada pelajaran hidup yang menunggu untuk dipetik.





