Gubernur DIY Soroti Kebijakan Pajak Opsen Kendaraan: Penguatan Daerah atau Peruncing Ketimpangan?
Yogyakarta- Isu kesenjangan fiskal antarwilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali mencuat ke permukaan. Dalam sebuah pertemuan penting dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Jakarta pekan lalu, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Bawono X, secara khusus menyoroti dampak dari kebijakan pajak opsen kendaraan bermotor. Kebijakan ini, menurut Sultan, justru berpotensi memperlebar jurang ketimpangan pendapatan antar kabupaten di wilayahnya, alih-alih memicu pemerataan pembangunan.

Baca Juga : Festival Lampion Jogja 2025 Kembali Hadir
Melalui penjelasan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset (BPKA) DIY, Wiyos Santoso, substansi dari kekhawatiran Sultan menjadi semakin jelas. “Inti dari yang disampaikan Pak Gubernur adalah persoalan kewenangan daerah dalam mengatur pemerataan. Dengan adanya mekanisme opsen ini, justru kemampuan kami untuk mengurangi ketimpangan antarkabupaten menjadi berkurang,” ujar Wiyos di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta.
Bagaimana Opsen Memperlebar Jurang?
Sistem pajak opsen kendaraan pada dasarnya membuat pendapatan pajak suatu daerah bergantung secara langsung pada jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di wilayahnya. Prinsip “yang empunya kendaraan, dapat bagian pajak” inilah yang menciptakan ketidakseimbangan.
“Karena dengan adanya opsen itu, bagian kabupaten dalam pajak kendaraan bermotor didasarkan pada asal potensi kendaraannya. Kendaraan yang terdaftar di Sleman, ya pendapatan pajaknya akan diterima oleh Sleman. Secara otomatis, kabupaten seperti Kulon Progo dan Gunungkidul yang memiliki basis kendaraan lebih sedikit, melihat pendapatan mereka dari sektor ini menurun drastis,” papar Wiyos dengan nada prihatin.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Sleman, dengan tingkat kepadatan penduduk dan aktivitas ekonomi yang lebih tinggi, secara alamiah memiliki jumlah kendaraan yang jauh lebih banyak. Sementara itu, Kulon Progo dan Gunungkidul, yang topografinya sebagian besar merupakan perdesaan dan pegunungan, tidak memiliki potensi yang sama. Kebijakan ini dianggap “menghukum” daerah dengan potensi kendaraan yang secara geografis dan ekonomis memang terbatas.
Beban Berlapis bagi Daerah Tertinggal
Yang memperparah situasi, penurunan pendapatan dari pajak kendaraan ini bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi Kulon Progo dan Gunungkidul. Dua kabupaten yang kerap disebut sebagai daerah tertinggal ini juga sedang menghadapi beban fiskal lainnya.
“Mereka tidak hanya menerima kenyataan pahit dengan menurunnya pendapatan pajak daerah, tetapi pada saat yang bersamaan juga harus berhadapan dengan pengurangan Dana Transfer Ke Daerah (TKD) yang cukup signifikan dari pusat. Bayangkan, pendapatan dari ‘anak sungai’ sendiri menyusut, sementara aliran dari ‘sungai besar’ pusat juga dikurangi. Ini situasi yang sangat sulit,” jelas Wiyos.
Dampak riilnya bisa sangat luas, mulai dari terhambatnya program pembangunan infrastruktur, terbatasnya anggaran untuk layanan publik, hingga terpaksanya pemerintah daerah melakukan efisiensi belanja yang bisa berimbas pada menurunnya kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Hilangnya Klausul Pemerataan dalam Aturan Baru
Wiyos kemudian mengungkapkan akar masalah dari persoalan ini, yaitu hilangnya roh pemerataan dalam peraturan perundang-undangan yang baru. “Dalam undang-undang yang lama, terdapat klausul eksplisit yang mengatur pembagian hasil pajak untuk tujuan pemerataan, khususnya untuk mengurangi ketimpangan antarkabupaten. Sayangnya, klausul vital ini justru dihapus dalam aturan yang baru. Inilah poin kritis yang disampaikan Pak Gubernur langsung kepada Kementerian Keuangan,” pungkasnya.
Pertemuan ini sendiri, meski bukan bagian dari agenda resmi pertemuan para gubernur dengan Kemenkeu, menunjukkan keseriusan Pemda DIY dalam memperjuangkan keadilan fiskal bagi seluruh wilayahnya. Pekan lalu, setidaknya 18 gubernur dari berbagai penjuru Indonesia juga mendatangi Menteri Purbaya untuk menyuarakan keberatan yang serupa mengenai pemangkasan TKD.
Kesenjangan Menanggapi gelombang protes ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyikapinya dengan tenang. Ia menyebut kedatangan para gubernur sebagai hal yang wajar dalam dinamika demokrasi. Purbaya menegaskan bahwa pemerintah pusat akan berhati-hati dalam mengambil keputusan.
“Saya akan lihat keadaan uang saya seperti apa nanti memasuki pertengahan triwulan II tahun 2026. Kalau memang ekonominya sudah bagus, pendapatan pajaknya naik, penerimaan dari cukai lebih bagus, dan tidak ada kebocoran, seharusnya semua naik.





