Demam Retro: Gen Z Ramai-ramai Berburu Kaset Lawas di Era Musik Digital
Yogyakarta- Di tengah gemerlap era streaming di mana lagu-lagu dapat diakses hanya dengan sekali ketuk, sebuah fenomena tak terduga justru sedang mewabah. Generasi Z (Gen Z), yang lahir dan tumbuh di dunia digital, ternyata sedang gencar memburu harta karun dari masa lalu: kaset, compact disc (CD), dan piringan hitam atau vinyl. Tren retro ini seperti napas segar yang membuktikan bahwa kenikmatan fisik dan nostalgia tak sepenuhnya tergantikan oleh layanan digital seperti Spotify atau Apple Music.

Baca Juga : Mengukir Makna Di Jalanan Sunyi Dengan Sepeda
Buktinya, komunitas kolektor dan penjual rilisan fisik justru tetap hidup dan berkembang. Salah satunya adalah Jogja Record Store Club (JRSC), sebuah komunitas yang telah menjadi surga bagi para pencinta musik dalam bentuk fisik sejak 2015.
Kaset, CD, Vinyl: Bukan Sekadar Barang Rongsokan, Tapi Karya Koleksi
Hari Pede, seorang anggota komunitas JRSC asal Gamping, Sleman, membenarkan gelombang minat baru ini. Menurutnya, meski penjualannya tidak lagi semasif di era kejayaannya dulu, rilisan fisik sama sekali tidak sepi peminat. JRSC sendiri memiliki puluhan anggota dengan koleksi ratusan kaset, CD, dan vinyl.
“Spesialisasi kami beragam. Ada yang fokus mengoleksi kaset-kaset jadul langka, ada juga yang justru menjadi distributor untuk band-band indie masa kini yang masih merilis karya mereka dalam bentuk fisik,” jelas Hari.
Ia menyebutkan beberapa nama yang karyanya banyak dicari, seperti Banda Neira, Barasuara, Feast, Hindia, dan Lomba Sihir. Tak hanya itu, label besar seperti Aquarius dan Musica juga ikut meramaikan pasar dengan merilis ulang karya legendaris dalam format vinyl.
“Kita lihat karya-karya Chrisye dan Dewa 19 dirilis ulang dalam bentuk vinyl. Begitu juga dengan band seperti D’masiv dan Peterpan. Ini seperti bentuk remaster atau perekaman ulang untuk memberikan pengalaman mendengarkan yang baru,” urainya.
Gen Z Kolektor: Punya Tapi Tak Diputar, Mengapa?
Fenomena Yang menarik dari tren ini adalah profil pembelinya. Hari mengungkapkan bahwa peminatnya kini didominasi oleh kalangan Gen Z, meski dengan motivasi yang sedikit berbeda.
“Peminatnya memang meningkat, dan jelas terlihat dari kalangan remaja Gen Z, bahkan anak SMA awal sudah mulai banyak yang koleksi. Tapi, uniknya, banyak dari mereka yang membeli untuk koleksi, jarang yang benar-benar memutarnya,” kata Hari sambil tersenyum.
Alasannya praktis: banyak dari generasi ini yang tidak lagi memiliki pemutar kaset atau turntable untuk vinyl. “Mereka punya kasetnya, tapi mendengarkan lagunya tetap lewat Spotify atau iTunes. Kasetnya disimpan sebagai benda fisik,” tambahnya.
Harga Sentimental yang Melambung Tinggi
Soal harga, rilisan fisik ini bukan main-main. Untuk sebuah kaset, harganya bisa dimulai dari Rp 50 ribu. Sementara itu, vinyl bisa dibanderol mulai dari Rp 500 ribu, tergantung ukuran dan kelangkaannya. Namun, harga bisa melonjak drastis menjadi tiga kali lipat atau lebih jika dilengkapi dengan tanda tangan sang musisi.
“Ini menunjukkan nilai sentimentalnya sangat tinggi. Bagi kolektor, tanda tangan itu seperti penegas sejarah kepemilikan dan kedekatan dengan artisnya,” jelas Hari.
Nostalgia, Kenangan, dan Perlawanan terhadap “Kefanaan” Digital
Lalu, apa yang mendorong orang—bahkan generasi digital native—untuk tetap memburu benda yang oleh banyak orang dianggap “kuno” ini?
Bagi Hari, alasannya kompleks dan personal. Pertama, adalah soal kepastian. “Tidak semua musisi ada di semua platform Digital Service Provider (DSP). Ada yang menarik karyanya karena satu dan lain hal. Dengan memiliki rilisan fisik, kita bisa mendengarkannya kapan saja, tanpa tergantung platform.”
Kedua, dan yang paling kuat, adalah nilainya sebagai penanda zaman (milestone) dan memorabilia. “Ini adalah bukti fisik. Sebuah kenang-kenangan yang tak lekang oleh waktu yang bisa diturunkan ke anak cucu. Kita tidak tahu seperti apa bentuk DSP sepuluh atau dua puluh tahun lagi, tapi kaset dan vinyl ini akan tetap ada,” ujarnya.
Bahkan, fenomena ini mendorong musisi untuk “kembali ke masa lalu”. “Banyak artis yang ternyata tidak punya arsip CD atau rilisan fisik mereka dari awal karier. Akhirnya, ada yang meminjam koleksi kami untuk diremaster ulang dan dirilis kembali,” cerita Hari.
Cerita dari Kolektor: Menghidupkan Kembali Kenangan Masa Kecil
Sentimen serupa diungkapkan oleh Haidar (24), seorang penggiat rilisan fisik asal Banguntapan, Bantul. Baginya, CD dan kaset adalah bagian dari nostalgia masa kecil.
“Dulu waktu kecil, belum ada Spotify. Saya sering mendengarkan musik dari kaset di radio tape atau lewat DVD player. Jadi, barang-barang ini tidak terasa asing bagi saya,” kenangnya.
Alasannya membeli CD di era modern ini sederhana: untuk mengukuhkan rasa cintanya pada sebuah band. “Saya adalah penggemar berat Dewa 19. Waktu kecil sering mendengarkan musiknya lewat CD. Sekarang, saya memiliki beberapa koleksi CD mereka yang bahkan ada tanda tangannya. Ini seperti kenang-kenangan yang tak ternilai, buat saya nanti di masa tua, untuk mengenang betapa saya dulu sangat mengidolakan band ini.”





