Dinkes DIY Buka Suara: Ini Alasan Mendasar Larangan Konsumsi Daging Anjing Belum Jadi Perda
Yogyakarta– Praktik perdagangan dan konsumsi daging anjing hingga saat ini masih ditemui di sejumlah wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), salah satu titik yang menjadi sorotan adalah Kabupaten Bantul. Meski menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, langkah hukum untuk mengatur secara khusus lewat Peraturan Daerah (Perda) ternyata belum juga diusulkan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY.

Baca Juga : Imigrasi Yogyakarta Terapkan Sanksi Deportasi Terhadap Enam Warga Negara Asing
Lantas, apa yang menjadi penghambat utama? Plt. Kepala Dinkes DIY, Akhmad Akhadi, membeberkan bahwa alasan utamanya terletak pada kurangnya data dan peta persoalan yang komprehensif sebelum melangkah ke tahap perumusan kebijakan.
“Secara prinsip, dari sektor kesehatan, usulan Perda ini sangat mungkin untuk diajukan. Namun, langkah itu tidak bisa diambil secara gegabah. Kami harus memiliki gambaran yang jelas dan berbasis data terlebih dahulu tentang beban kesehatan riil yang ditimbulkan dari konsumsi daging anjing,” jelas Akhadi saat dihubungi.
Kekurangan Data sebagai Penghalang Utama
Akhadi mengungkapkan bahwa untuk mendorong sebuah Perda, dibutuhkan Naskah Akademik yang kuat dan didukung oleh data empiris. Saat ini, data-data krusial tersebut masih sangat terbatas, sehingga menyulitkan pihaknya untuk membuat justifikasi yang solid di hadapan legislatif.
“Izinkan saya memberikan ilustrasi. Pertama, berapa banyak sebenarnya warga DIY yang rutin mengonsumsi daging anjing? Kedua, berapa ekor anjing yang diperdagangkan dan disembelih setiap bulannya? Yang tak kalah penting, seberapa besar ancaman penyakit zoonosis—penyakit yang bisa menular dari hewan ke manusia—yang muncul dari rantai perdagangan dan konsumsi ini?” ujarnya memaparkan sederet pertanyaan kunci yang masih belum terjawab.
“Tanpa data yang lengkap, kami kesulitan untuk menyatakan bahwa masalah ini merupakan urgensi kesehatan masyarakat yang memerlukan intervensi regulasi tingkat daerah,” sambung Akhadi.
Kapan Idealnya Perda Ini Diusulkan?
Akhadi kemudian memberikan gambaran tentang kondisi ideal yang bisa mendorong Dinkes mengambil langkah agresif. Menurutnya, semua bermuara pada beban kesehatan (health burden) yang dapat diukur.
“Misalnya, jika dari data terungkap bahwa jumlah orang yang mengonsumsi daging anjing lalu tertular rabies atau penyakit zoonosis lain, hingga menyebabkan kematian, sangat tinggi—dan angkanya signifikan jika dibandingkan dengan total populasi DIY—maka saat itulah kami memiliki dasar yang kuat untuk mendesak terbitnya Perda,” tegasnya.
“Pada kondisi seperti itu, kami bisa menyimpulkan bahwa beban kesehatan akibat konsumsi daging anjing sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Naskah Akademik yang kami susun harus mampu mencerminkan dan membuktikan kondisi darurat tersebut,” imbuh Akhadi.
Telah Ada Prekursor di Daerah Lain dan Payung Hukum Terbatas
Sebagai pembanding, Akhadi mencontohkan sejumlah daerah yang telah lebih dahulu memiliki regulasi serupa, seperti DKI Jakarta, Kabupaten Sukoharjo, dan Bali. Perda di daerah-daerah tersebut menjadi bukti bahwa larangan terhadap perdagangan dan konsumsi daging anjing telah dianggap perlu.
“Ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya regulasi ini sudah ada. Tinggal bagaimana kita menyesuaikan dengan konteks dan kebutuhan di DIY,” paparnya.
Meski Perda spesifik belum ada, Akhadi menegaskan bahwa saat ini sebenarnya telah terdapat beberapa payung hukum yang dapat digunakan untuk menjerat praktik perdagangan daging anjing, meski tidak secara langsung.
Pertama, ia menyebut Surat Edaran Nomor 9874/SE/PK.420/F/09/2018 dari Kementerian Pertanian yang dengan tegas menyatakan bahwa anjing bukanlah hewan yang ditetapkan sebagai sumber pangan.
“Kemudian, aspek penyembelihannya yang seringkali tidak memenuhi kesejahteraan hewan dapat dijerat dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 juncto Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan,” pungkas Akhadi.
Regulasi yang ada ini, meski tidak spesifik, bisa menjadi alat hukum bagi pihak berwajib, seperti polisi atau dinas peternakan, untuk mengambil tindakan. Namun, tanpa Perda yang jelas, sosialisasi dan penegakannya seringkali belum optimal, sehingga perdagangan daging anjing masih terus berlangsung di bawah radar.
Masyarakatakat Sipil Mendesak Aksi Konkret, Soroti Dampak Kesehatan dan Etika
Sementara itu, Praktik berbagai kelompok masyarakat sipil menyatakan kekhawatiran mereka terhadap lambatnya kemajuan usulan Perda ini. Mereka mendesak pemerintah daerah untuk segera bertindak lebih cepat, tidak hanya menunggu data sempurna.
Selanjutnya, ia memperlihatkan beberapa bukti investigasi yang menggambarkan kondisi perdagangan anjing yang memprihatinkan di beberapa pasar tradisional. “Rantai pasok ini tidak steril. Oleh karena itu, risiko penularan penyakit seperti rabies, antraks, dan leptospirosis sangat nyata, baik bagi penjual maupun konsumen.”
Selain itu, para aktivis juga menekankan adanya aspek pelanggaran etika. “Anjing adalah hewan yang memiliki ikatan emosional kuat dengan manusia. Sebagai contoh, banyak dari anjing yang diperdagangkan adalah hasil pencurian dari hewan peliharaan warga. Akibatnya, praktik ini tidak hanya menimbulkan trauma bagi pemiliknya tetapi juga mengabaikan prinsip kesejahteraan hewan.”
Langkah Ke Depan: Kolaborasi untuk Percepatan Regulasi
Menanggapi desakan ini, Dinkes DIY menyadari perlunya pendekatan yang lebih proaktif. Untuk memecahkan kebuntuan ini, Akhadi mengungkapkan bahwa pihaknya tidak akan bekerja sendirian. “Kami berencana untuk memulai kolaborasi intensif dengan Dinas Peternakan dan Perkebunan, serta Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah.”
Tujuan dari kolaborasi ini adalah untuk merancang sebuah pemantauan terpadu. Misalnya, mereka akan memetakan titik-titik perdagangan, melakukan sampling kesehatan pada anjing yang diperjualbelikan, dan mewawancarai pelaku usaha serta konsumen. Dengan demikian, data yang selama ini hilang perlahan-lahan dapat terkumpulkan.
Bahkan, Einisiatif ini bisa diperkuat dengan melibatkan organisasi non-pemerintah yang telah lebih dulu memiliki data investigatif. “Kami terbuka untuk sinergi. Pada akhirnya, data dari mana pun sumbernya, asal valid, akan memperkaya naskah akademik kami,” tambah Akhadi.





