Waspada Kuliner! Warung Bakso di Bantul Kedapatan Tak Cantumkan Label Kehalalan, Wabup Ingatkan Kewajiban Ini
Yogyakarta– Sebuah temuan mengenai warung bakso yang diduga tidak mencantumkan label non-halal dengan jelas di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyita perhatian publik dan pemerintah setempat. Menanggapi hal ini, Wakil Bupati Bantul, Aris Suhariyanta, secara tegas menyerukan kepada seluruh pedagang, baik penjual bakso maupun makanan lainnya, untuk segera dan secara konsisten mencantumkan label halal atau non-halal pada produk mereka.

Baca Juga : Memulihkan Harapan Dan Martabat, Bedah Rumah Yogyakarta Sentuh Dua Keluarga Kurang Mampu
Seruan ini bukan tanpa alasan. Insiden tersebut bermula dari warung bakso di wilayah Kelurahan Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, yang produknya mengandung daging babi, namun informasi ini tidak disampaikan secara transparan kepada calon pembeli. Baru setelah kasusnya viral di masyarakat, pemilik warung akhirnya memasang keterangan yang jelas.
“Harapan kami, terkait dengan penjual bakso di Bantul ataupun penjual makanan lainnya, agar segera mencantumkan label halal maupun nonhalal. Ini penting agar masyarakat yang hendak mengonsumsi memiliki informasi yang jelas dan pasti,” tegas Aris Suhariyanta saat dikonfirmasi.
Lingkungan yang Agamis Menuntut Transparansi
Wakil Bupati menekankan bahwa langkah ini sangat krusial mengingat karakteristik masyarakat Bantul yang religius. Dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, kejelasan status halal sebuah produk adalah hak dasar konsumen, khususnya umat Muslim.
“Makanya, mencantumkan label itu penting. Karena kita hidup di Bantul ini memang di Bantul yang agamis. Apalagi dengan maraknya pedagang bakso dan lain-lain di Bantul, transparansi ini menjadi sebuah keharusan,” ujar Aris menambahkan.
Respons OPD Masih Ditunggu, Satpol PP Bantul Menunggu Arahan
Sementara dari sisi penegakan peraturan, respons pemerintah daerah masih dalam tahap koordinasi. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Bantul, Jati Bayu Broto, mengungkapkan bahwa pihaknya masih menunggu arahan dari instansi teknis terkait sebelum dapat mengambil langkah lebih lanjut.
“Saya menunggu respon dari Dinas Kesehatan (Dinkes) dan DKUKMPP (Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan) dulu. Ranahnya di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis terlebih dahulu,” jelas Jati Bayu Broto.
DMI Ungkap Kronologi: Label Hanya “B2” yang Samar dan Tak Konsisten
Di sisi lain, Dewan Masjid Indonesia (DMI) setempat memberikan penjelasan mendetail tentang kronologi temuan ini. Sekretaris Jenderal (Sekjen) DMI Ngestiharjo, Ahmad Bukhori, mengungkapkan bahwa warung bakso tersebut telah beroperasi sejak 2016.
Menurutnya, DMI baru mengetahui bahwa bakso tersebut menggunakan bahan baku babi setelah menerima pengaduan dari masyarakat. Yang mengejutkan, upaya pemilik untuk memberi informasi dinilai sangat tidak memadai.
“Penjual hanya memasang tulisan ‘B2’ berukuran kecil, kira-kira separuh kertas HVS, yang ditempel di gerobaknya. Itu pun kadang dipasang, kadang tidak. Akibatnya, banyak umat Muslim yang tidak menyadari bahwa bakso tersebut berbahan dasar babi,” papar Bukhori.
Ia juga menuturkan bahwa sebelum DMI turun tangan dengan memasang spanduk label non-halal yang jelas, para tokoh masyarakat setempat seperti dukuh dan ketua RT telah terlebih dahulu melakukan pendekatan kepada penjual.
Melanggar UU Jaminan Produk Halal dan Tanggung Moral bagi Umat
Dari perspektif hukum, Ahmad Bukhori menegaskan bahwa tindakan penjual tersebut jelas melanggar ketentuan yang berlaku. Ia merujuk pada Pasal 93 dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang mewajibkan pelaku usaha untuk mencantumkan keterangan tidak halal pada produk yang berasal dari bahan haram.
“Oleh sebab itu, dari sisi keagamaan, DMI merasa memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi umat. Kami langsung memasang spanduk label non-halal agar masyarakat, terutama umat Muslim, dapat terhindar dari produk makanan yang diolah dengan bahan baku yang tidak halal,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi pengingat bagi semua pihak, baik pelaku usaha maupun pemerintah, akan pentingnya transparansi informasi dalam industri kuliner. Bagi masyarakat, kejadian ini juga diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan dalam memilih dan membeli produk makanan, memastikan bahwa yang mereka konsumsi tidak hanya enak, tetapi juga sesuai dengan keyakinan agama yang dianut.





