Rektor UII “Pasang Badan”: Tantang Kriminalisasi, Jamin Kebebasan Aktivis Alumni yang Ditangkap
Yogyakarta- Sebuah gelombang keprihatinan dan solidaritas bergulir dari kampus Universitas Islam Indonesia UII menyusul penangkapan salah satu alumninya, M Fakhrurrozi atau yang akrab disapa Paul, seorang aktivis Social Movement Institute SMI. Menanggapi aksi tegas aparat, Rektor UII, Fathul Wahid, tak tinggal diam. Dengan berani, ia menyatakan kesediaannya untuk “pasang badan” dan menjadi penjamin guna memperoleh penangguhan penahanan bagi Paul.

Baca Juga : Polemik Maxride Yogyakarta Simpang Siur Aturan Picu Vacuum Of Power
Komitmen ini tidak hanya diucapkan, tetapi telah diwujudkan dalam tindakan nyata. “Dan untuk menunjukkan komitmen itu, saya bersama beberapa kawan lain dari UII dan lintas kelompok sudah menyatakan siap menjadi penjamin penangguhan penahanan Mas Paul,” tegas Fathul Wahid dengan nada lugas saat dikonfirmasi. Harapannya jelas: Paul dan seluruh aktivis yang menghadapi situasi serupa harus segera dibebaskan.
Lebih dari Sekadar Penangkapan: Sebuah Pukulan bagi Demokrasi
Bagi Rektor UII, kasus Paul bukan sekadar urusan hukum individu, melainkan sebuah cermin dari kondisi kebebasan berekspresi yang kian suram di Indonesia. Ia menyampaikan keprihatinan mendalamnya atas proses penangkapan yang dinilainya tidak transparan dan jauh dari prinsip hukum yang semestinya dijunjung tinggi.
“Kita menyaksikan proses yang tidak transparan, bahkan tidak sesuai dengan prosedur hukum yang mestinya dijunjung tinggi. Karena itu, wajar kalau publik menilai penangkapan ini bukan demi menegakkan keadilan, melainkan lebih terasa sebagai upaya membungkam suara-suara kritis yang justru dibutuhkan bangsa ini,” papar Fathul.
Dalam pandangannya, denyut nadi demokrasi terletak pada keberanian warganya untuk menyampaikan kritik dan perbedaan pandangan—sebuah hak yang dijamin konstitusi. Sayangnya, lembaga-lembaga negara yang seharusnya berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan pemerintah justru dianggapnya semakin tumpul. Akibatnya, ruang bagi masyarakat sipil untuk bersuara lantang kian menyempit.
“Mereka bersuara bukan karena ingin melawan negara, tapi karena cinta pada negeri ini, karena rindu pada Indonesia yang lebih baik. Mas Paul adalah salah satu dari barisan itu,” ujarnya, membela niat baik para pengkritik kebijakan.
Peringatan akan Bahaya Otoritarianisme
Fathul Wahid tidak sungkan untuk menyuarakan kekhawatiran terbesarnya: bahwa pola kriminalisasi terhadap suara kritis dapat menggerus demokrasi Indonesia secara sistematis. Memperlakukan aktivis sebagai “musuh negara” hanya akan mengikis kepercayaan publik dan menutup pintu bagi dialog konstruktif.
Dengan nada tegas, ia memperingatkan, “Kalau ini dibiarkan, kita sedang menyiapkan panggung bagi lahirnya otoritarianisme atau kediktatoran baru, sesuatu yang pasti tidak kita inginkan hadir di Indonesia.”
Oleh karena itu, desakannya untuk membebaskan Paul dan kawan-kawannya bukan tanpa alasan. Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia tetap hidup dan bernafas. “Ini bukan hanya tentang satu orang, ini tentang hak kita bersama. Ini tentang menjaga agar Indonesia tidak kehilangan akal sehatnya, tidak kehilangan jiwanya. Karena tanpa keberanian masyarakat sipil, demokrasi hanyalah nama tanpa isi,” pungkasnya penuh keyakinan.
Kilas Balik Penangkapan Paul
Lantas, apa yang melatarbelakangi penangkapan yang memicu respons kuat ini? Paul, yang merupakan koordinator Social Movement Institute (SMI), ditangkap di kediamannya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penangkapan ini terkait dengan demonstrasi yang berujung kericuhan di Kediri, Jawa Timur, pada akhir Agustus lalu.
gelombang Dalam unggahan resminya, Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Jules Abraham Abast, menjelaskan bahwa Paul dijerat dengan beberapa pasal berlapis, yaitu Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 187 dan 170 KUHP tentang pembakaran dan kekerasan, serta Pasal 55 KUHP tentang turut serta melakukan tindak pidana.
“Penangkapan dan penahanan dilakukan untuk kepentingan penyidikan serta mencegah tersangka menghilangkan barang bukti,” jelas Abast. Ia menambahkan bahwa pihaknya telah menghubungi keluarga Paul dan tersangka telah mendapat pendampingan hukum.
Menurut penyidik, Paul aktif berkomunikasi dengan tersangka lain, Saiful Amin (SA), dan diduga menghasut untuk melakukan tindakan melawan hukum, termasuk pembakaran dan penyerangan fasilitas umum. Dalam penggeledahan, penyidik menyita sejumlah barang bukti seperti ponsel, laptop MacBook, tablet, serta beberapa kartu ATM dan buku tabungan.
Di tengah narasi hukum yang dibangun oleh aparat, suara Rektor UII dan komunitas sipil hadir sebagai pengingat akan pentingnya prinsip praduga tak bersalah dan proteksi terhadap hak-hak dasar warga negara. Pertarungan ini kini telah melampaui nasib satu individu, dan berubah menjadi ujian nyata bagi ketahanan demokrasi Indonesia di tengah gelombang ketegangan politik dan sosial.