Malioboro Berbenah: Dari Pusat Belanja Menuju Panggung Seni Jalanan Berkualitas
Yogyakarta- Kawasan Malioboro, jantungnya Kota Gudeg, sedang dipersiapkan untuk mengalami transformasi yang lebih berkelas. Tidak lagi sekadar destinasi Wisata untuk berburu ole-ole dan menikmati suasana jalanan yang ramai, Malioboro kini digadang-gadang untuk menjadi sebuah laboratorium seni Kontemporer dan panggung budaya urban yang hidup dan berkualitas.

Baca Juga : Kecelakaan Maut Di Kulon Progo, Pekerja Tewas Tertimpa Muatan Kayu
Inisiatif ini diungkapkan secara tegas oleh Wali Kota Yogyakarta, Dr. dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K). Di bawah kepemimpinannya, Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta memiliki visi yang jelas: menjadikan Malioboro sebagai ruang apresiasi seni yang menawarkan pengalaman tak terlupakan bagi setiap wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Lebih Dari Sekadar Pengamen: Menuju Standar “Bintang Lima” di Jalanan
Hasto menekankan bahwa para musisi jalanan, yang sering kita sebut sebagai pengamen, memegang peran kunci dalam mewujudkan visi ini. Bagi Hasto, mereka bukanlah sekadar pelengkap suasana, melainkan “duta seni” pertama yang disaksikan oleh pengunjung.
“Kami ingin mengubah paradigma. Keberadaan musisi jalanan di Malioboro tidak boleh lagi dipandang sebagai hal yang biasa. Mereka harus menjadi daya tarik utama,” ujar Hasto. “Oleh karena itu, kami menetapkan standar yang tinggi. Kalau sudah tampil di Malioboro, kualitasnya harus di atas rata-rata. Pengamen di sini harus berbeda dan memberikan kesan yang berkelas.”
Mantan Kepala BKKBN ini menjelaskan bahwa standar “berkelas” tersebut mencakup dua aspek utama. Pertama, kompetensi musikal yang unggul, seperti penguasaan alat musik, kualitas vokal, dan kemampuan aransemen. Kedua, penampilan dan performa panggung yang menarik dan profesional, meskipun panggungnya adalah trotoar dan langit-langitnya adalah pepohonan asam jawa.
Kurasi dan Wadah Pengembangan: Memupuk Bakat Lokal
Lantas, bagaimana cara mewujudkan hal ini? Pemkot Yogyakarta tidak hanya menuntut, tetapi juga berkomitmen untuk memberikan jalan. Hasto mengungkapkan rencana untuk membuat semacam sistem seleksi atau kurasi bagi para pelaku seni jalanan yang ingin tampil di Malioboro.
“Mereka harus terseleksi dan terkurasi. Ini bukan untuk membatasi, tetapi justru untuk memastikan bahwa mereka yang tampil memiliki bekal yang cukup dan dapat memberikan hiburan yang berkualitas serta meninggalkan kesan positif bagi para wisatawan,” jelasnya.
Selain sistem kurasi, Pemkot juga akan berupaya menyediakan wadah pengembangan bakat. Hal ini bisa berupa workshop musik, pelatihan performa, atau even kompetisi rutin untuk mencari bakat-bakat terbaik yang pantas menghibur di kawasan ikonik tersebut. Langkah ini diharapkan dapat memotivasi para musisi jalanan untuk terus mengasah kemampuan dan menciptakan pertunjukan yang original dan kreatif.
Seni Jalanan Sebagai Inspirasi dan Pendorong Ekonomi Kreatif
Hasto melihat potensi yang sangat besar di balik pengelolaan seni jalanan yang baik. Menurutnya, musisi jalanan yang berkualitas tidak hanya sekadar menghibur, tetapi juga dapat menjadi sumber inspirasi bagi penikmatnya.
“Bayangkan, seorang turis asing yang sedang berjalan-jalan, lalu mendengar alunan musik yang indah dan penuh jiwa dari seorang musisi jalanan. Itu bisa menjadi momen yang sangat berkesan dan cerita yang mereka bawa pulang ke negaranya,” tambah Hasto.
Dengan demikian, seni jalanan yang berkualitas bukan hanya soal estetika, tetapi juga memiliki dampak ekonomi yang nyata. Ia dapat mengangkat citra kota, memperpanjang durasi kunjungan wisatawan, dan pada akhirnya mendorong geliat ekonomi kreatif serta sektor pariwisata Yogyakarta secara keseluruhan.
Dengan langkah strategis ini, Destinasi Malioboro tidak hanya akan dikenang karena keramaian dan oleh-oleh khasnya, tetapi juga karena dentuman gitar, alunan seruling, atau suara merdu para musisi jalanannya yang mampu menyentuh hati dan menaikkan standar seni pertunjukan di ruang publik. Malioboro bersiap untuk bernyanyi lebih merdu, dan kita semua diajak untuk mendengarkannya.





